Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Revitalisasi Pendidikan Multikultural Di Sekolah Dalam Era Globalisasi

Meluasnya kecenderungan disintegrasi (perpecahan) sosial merupakan salah satu fenomena krusial yang telah membuat negeri ini terbengkalai. Konflik antar suku, agama, ras, dan berbagai golongan sampai saat ini masih marak terjadi. Konflik kekerasan yang bernuansa politik, etnis dan agama seperti yang terjadi di berbagai wilayah Aceh, Maluku, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Papua merupakan salah satu fakta yang tidak terbantahkan bahwa dalam lingkaran sosial bangsa Indonesia masih kokoh semangat narsistik egosentrisnya.

Fakta yang ada berkenaan dengan masalah tersebut adalah bergolaknya kembali konflik bernuansa SARA (Suku Agama dan Ras). Kasus Ambon, Sampit, Papua, konflik antara FPI dan kelompok Ahmadiyah adalah bukti betapa rapuhnya konstruksi kebangsaan berbasis multikulturalisme di negeri kita. Sehingga tidak heran kalau belakangan ini rasa kebersamaan sudah tidak tampak lagi dan nilai-nilai kebudayaan yang dibangun menjadi luntur.

Di era multikulturalisme, pendidikan Islam sedang mendapat tantangan karena ketidakmampuannya menciptakan kesadaran masyarakat akan pluralisme yang meniscayakan multi etnik, dan agama.
Berkaitan dengan pendidikan, tugas menyiapkan generasi umat yang bebas konflik dan kekerasan, serta menciptakan kader yang santun dan toleran menjadi tugas kita bersama. Oleh karena itu, dalam pembelajarannya tidak hanya memiliki kencenderungan untuk mengajarkan pendidikan agama secara parsial (luarnya saja), akan tetapi mengajarkan secara menyeluruh disertai dengan berbagai macam perbedaan pendapat dan bentuk, misalnya materi pendidikan agama, tidak hanya terfokus pada upaya mengurusi masalah keyakinan seorang hamba dengan Tuhannya. Seakan-akan masalah surga atau kebahagian hanya dapat diperoleh dengan cara ibadah atau aqidah saja, melainkan adanya hubungan antar sesama manusia.

Pendidikan multikulturalisme
src image: http://www.onlinefreespanish.com
Dalam konteks kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk, satu dari sekian tugas utama sekolah yang strategis dan penting adalah menanamkan sikap toleran dan inklusif sehingga peserta didik mampu mengembangkan relasi sosial yang harmonis dengan sesama peserta didik dan penyelenggara pendidikan di sekolah serta warga masyarakat. Sikap toleran dan inklusif dalam mensikapi realitas kemajemukan sosial harus dipandang sebagai salah satu indikator akhlak mulia atau budi pekerti luhur. Sekolah dapat membantu menumbuh kembangkan sikap toleran dan inklusif dengan penerapan penanaman nilai-nilai multikultural. Konsepsi pendidikan multikultural memuat nilai-nilai, kepercayaan-kepercayaan dan merefleksikan berbagai tingkat pemahaman di kalangan sivitas yang terlibat dalam pembuatan kebijakan sekolah.

Dalam tataran pengembangan kurikulum pendidikan multikultural, pemerintah pusat memberikan kewenangan lebih kepada perguruan tinggi. Sementara hal tersebut, tidak diberikan kepada lembaga pendidikan pada jenjang menengah dan dasar yang meliputi SMA/MA/SMK, SMP/MTS, SD/MI, dan TK/RA/BA. Ini mengandung pengertian bahwa, dalam konteks penyelenggaraan pendidikan multikultural, perguruan tinggi memiliki otoritas lebih dibanding jenjang pendidikan yang ada di bawahnya.

Hal tersebut mengantarkan masyarakat pada titik kesadaran terhadap pengkajian tentang pendidikan multikultural pada tataran praktis bisa merambah pada ranah teknis penyelenggaraan pendidikan. Meski, akhir-akhir ini terjadi perdebatan panjang seputar strategi implementasi pendidikan multikultural dalam sebuah lembaga pendidikan formal. Lokus perdebatannya berkisar kepada permasalahan apakah pendidikan multikultural menjadi bagian dari struktur kurikulum dalam wujud muatan wajib, muatan lokal atau sebagai pengembangan kepribadian. Terdapat pula perdebatan yang menjadikan pendidikan multikultural hanya sebagai pendekatan dalam sebuah proses pendidikan sehingga bukan merupakan bagian dari struktur kurikulum formal.

Dalam implementasinya, pendidikan multikultural memiliki beberapa langkah sebagai berikut:
  1. Konsep dan praktik pembelajaran multikultural perlu dirumuskan melalui sebuah forum yang melibatkan perguruan tinggi.
  2. Perlu dibentuk organisasi yang aktif mengingatkan multikulturalisme, dapat berupa konsorium, biro atau apapun namanya yang berada dibawah Departemen Nasional.
  3. Organisasi tersebut harus memiliki kewenangan politik, hukum, moral dan terus menjadi motor dalam kegiatan untuk mewujudkan multikultural.
  4. Organisasi tersebut mesti didukung oleh tenaga yang berkompeten dibidang multikulturalisme.
  5. Segera mengimplementasikan pendidikan multikultural ke sekolah-sekolah, yang didukung kebijakan pemerintah untuk pengadaan guru, materi pengajaran, dan pengadaan buku-buku pengajaran.

Berdasarkan hasil penelitian di SMA Negeri 3 Kota Yogyakarta, SMA Taman Madya Kota Yogyakarta, SMA Negeri 1 Depok Sleman dan SMA Gama Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta, meskipun tidak ada arahan dari pemerintah daerah tentang pendidikan multikultural karena memang tidak ada kebijakan atau regulasi tentang pendidikan multikultural, namun sudah berupaya menerapkan nilai-nilai multikultural kepada peserta didiknya dan diperoleh gambaran bahwa:
  1. Kondisi peserta didik di SMA yang menjadi obyek penelitian cukup beragam. Di SMA sampel ini hidup dan berkembang bermacam-macam etnis, antara Jawa, Ambon, Maluku, Cina, Madura, Sunda, Palembang, Sumatra dan Bali. Selain itu, hidup lima kelompok agama, yaitu Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu dan Budha yang masing-masing kelompok berbeda itu hidup berdampingan saling menghormati dan bertoleransi baik antara guru dengan peserta didik maupun antar peserta didik itu sendiri. Kelompok tersebut, diberikan kebebasan untuk beraktualisasi sesuai dengan identitas kebudayaan masing-masing. Masing-masing peserta didik mendapatkan pendidikan agama dari guru agama yang sesuai dengan agama peserta didik. Dengan cara demikian setiap peserta didik mendapat kepastian memperoleh pendidikan agama yang sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.
  2. Upaya penanaman nilai-nilai multikultural dilaksanakan oleh para guru terutama guru-guru yang mengampu mata pelajaran dalam kategori ilmu sosial seperti bahasa Indonesia dan sosiologi serta guru agama yang mengajarkan tentang nilai-nilai inklusif berdasarkan ajaran masing-masing agama.
  3. Penanaman nilai-nilai multikultural juga dilaksanakan melalui berbagai aktivitas organisasi kepeserta-didikan dan kegiatan keagamaan yang kepanitiaannya bersifat gabungan lintas agama. Pemilihan pengurus OSIS di semua sekolah yang menjadi obyek penelitian, berlangsung secara demokratis karena setiap peserta didik tidak dibedakan jenis kelamin, agama, ras atau asal suku bangsanya. Setiap peserta didik memiliki kesempatan yang sama duduk dalam jajaran kepengurusan OSIS.

Berkaitan dengan pendidikan agama Islam, dapat dilakukan dengan menambahkan tema pendidikan multikultural dalam materi pendidikan agama yang ada, di antaranya dapat dilihat pada materi aqidah akhlak, yang bertema perilaku terpuji, guru menjelaskan perilaku terpuji dengan mengenalkan beberapa perilaku terpuji kemudian sesekali memasukkan nilai multikultural dalam penjelasannya. Bahwasannya jika kita berperilaku terpuji terhadap teman, guru, orang tua, dan orang-orang di sekitar kita akan tercipta hidup damai, karena tidak ada prasangka bahkan mengolok-olokan orang lain, apalagi dengan perbedaan yang ada.

Baca Juga:

Dalam materi lain, Al-Qur’an dan Al-Hadis juga terdapat tema yang bernuansa multikultural yaitu, memahami ayat-ayat Al-Qur’an tentang menyantuni kaum dhu’afa. Penjelasannya setelah membacakan ayat tentang menyantuni kaum dhu’afa, guru memasukkan nilai multikultural pada pengajarannya, bahwasannya menyantuni kaum dhu’afa adalah merupakan sikap saling mengasihi antar sesama, tolong menolong dan tidak saling membenci, agar tercipta persaudaraan. Dengan cara ini, materi pendidikan agama Islam dapat menampilkan wajah Islam yang toleransi, menyejukkan dan mengayomi semua masyarakatnya, juga masyarakat sekitarnya.

Pengajaran materi pendidikan agama Islam yang memperhatikan toleransi tersebut akan sangat membantu kepada paham inklusif peserta didik, berbuat ramah kepada sesamanya dan golongan lain. Tentunya jika materi pendidikan agama Islam memang mengandung unsur yang demikian. Dengan pembelajaran semacam ini yang memungkinkan untuk mengajarkan pendidikan agama Islam sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam yang humanis, demokratis dan berkeadilan kepada peserta didik. Sebuah prinsip-prinsip ajaran Islam yang sangat relevan untuk memasuki masa depan dunia yang ditandai dengan adanya keanekaragaman budaya dan agama.

Sebagaimana prinsip pendidikan sepanjang masa, pendidikan agama Islam juga harus mampu menjiwai pada tingkat kesadaran paling dalam pada diri peserta didik. Dengan demikian, di samping bertujuan untuk memperteguh keyakinan pada agamanya, pendidikan agama Islam berbasis multikultural juga harus diorientasikan untuk menanamkan empati, simpati dan solidaritas terhadap sesama, menjadikannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari perilaku peserta didik keseharian terutama terkait dengan kemajemukan kultur (multikultural) yang ada.

Maka, dalam hal ini, materi pelajaran pendidikan agama Islam yang diajarkan tentunya harus menyentuh dan bermuatan multikulturalitas. Dan dari sinilah urgensi multikultural bisa diajarkan dan dijalankan. Dalam pengajaran materi pendidikan agama Islam di SMA diharapkan peserta didik mampu memahami, menghayati dan memiliki sikap saling menghormati, serta menghargai akan perbedaan dalam masyarakat multikultur, guru hendaknya memberikan materi yang berbasis multikultur tersebut ke dalam bentuk mata pelajaran yang berdiri sendiri, sehingga lebih terfokus dan mengetahui secara kompleks bagaimana pendidikan multikultural dikuasai oleh peserta didik.

Secara umum pendidikan agama Islam merupakan mata pelajaran yang dikembangkan dari ajaran-ajaran dasar yang terdapat dalam agama Islam. Ajaran-ajaran tersebut terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Al-Hadis untuk kepentingan pendidikan, dengan melalui proses ijtihad para ulama mengembangkan materi pendidikan agama Islam pada tingkat yang lebih rinci. Mata pelajaran pendidikan agama Islam tidak hanya mengantarkan peserta didik untuk menguasai berbagai ajaran Islam. Tetapi yang terpenting adalah bagaimana peserta didik dapat mengamalkan ajaran-ajaran itu dalam kehidupan sehari-hari.

Oleh karena itu, pendidikan agama islam (PAI) di sekolah harus mengorientasikan materi, tujuan, dan pendekatan pembelajarannya agar dapat tercipta pemahaman keislaman yang inklusif dan toleran di tengah peradaban global yang semakin ditandai dengan keragaman hidup multikultural. Dalam pembelajaran pendidikan agama Islam di SMA memberikan nilai multikultural adalah salah satu model pembelajaran pendidikan agama Islam yang dikaitkan pada keragaman yang ada, entah itu keragaman agama, etnis, bahasa dan lain sebagainya.

Hal ini dilakukan sebagai usaha agar peserta didik mampu bersikap saling menghormati antar sesamanya yang berlainan etnis, bahasa, suku, dan lain sebagainya. Bila demikian, pendidikan agama menjadi lebih bermakna baik pada tataran sosiologis dan psikologis peserta didik, dan diharapkan mampu memberikan konstribusi dalam mewujudkan entitas kemanusiaan yang berperadaban.
Jadi bisa dikatakan bahwa pendidikan Agama Islam berbasis multikultural adalah pengembangan pembelajaran pendidikan agama Islam yang dilandasi dengan nilai-nilai multikultural sehingga mampu mengantarkan peserta didik kepada kesalehan individual maupun kesalehan sosial.

Selanjutnya beberapa prinsip yang perlu diperhatikan ketika mengimplementasikan nilai-nilai multikultural dalam wilayah keagamaan. Adalah prinsip-prinsip penting yang harus dihormati dan dipedomani, yaitu:
  1. Pelaksanaan nilai-nilai multikultural tidak diperkenankan pada masalah aqidah karena hal tersebut berkaitan dengan keyakinan seseorang terhadap Tuhan-nya.
  2. Masalah aqidah tidak bisa dicampur adukkan dalam hal-hal yang berkaitan dengan multikultural. Jadi tidak ada kompromi dalam hal keimanan, kita harus tegas mengatakannya. Oleh karena itu keyakinan tetap harus ditanamkan meskipun keragaman keyakinan tersebut menuntut kita untuk tetap saling menghargai dan mengormati, tapi disitulah letak ketetapan Allah yang tidak bisa dihindari, maka prinsip berpegang teguh kepada keyakinan kita mutlak diperlukan.
  3. Pelaksanaan nilai-nilai multikultural tidak boleh berada pada wilayah ibadah.
  4. Masalah ibadah dalam agama juga harus murni sesuai tuntunan Rasulullah. Syarat, tata cara, waktu dan tempat pelaksanaan ibadah telah di atur dalam Islam. Oleh karena itu tidak dibolehkan menerapkannya menurut kemauannya sendiri dengan alasan menjaga pluralistik. Misalnya demi menghormati agama orang lain, lalu kita melakukan shalat di tempat ibadah agama orang lain. Ini jelas dilarang dalam Islam.
  5. Pelaksanaan nilai-nilai multikultural tidak dalam hal-hal yang dilarang dalam ajaran Islam.
  6. Misalnya demi menghormati dan menghargai orang lain yang kebetulan dalam suatu pesta acara di rumah orang non-muslim, ternyata ada menu makanan yang diharamkan dalam Islam. Maka kita harus menjauhinya dan tidak boleh ikut memakannya.
  7. Pelaksanaan nilai-nilai multikultural hanya dibolehkan pada aspek-aspek yang menyangkut relasi kemanusiaan.

Biasanya ini masuk dalam kawasan tuntunan agama yang berkaitan dengan mu’amalah dan akhlak kepada manusia. Dengan demikian materi pendidikan agama islam (PAI) hendaknya benar-benar memperhatikan nilai-nilai pluralis, toleran, humanis, egalitarian, aktual, transformatif dan inklusif, sebagai wujud nyata motto kebangsaan Indonesia, Bhineka Tunggal Ika, yang merupakan bagian dari bangsa Indonesia. Oleh karenanya pendidikan agama islam yang memberikan nilai-nilai multikultural diharapkan mampu memberikan pemahaman tentang pentingnya toleransi baik di lingkungan sekolah, maupun masyarakat yang dapat menerima, menghargai dan menghormati kepada orang lain.

Muhammad Nur Fadhli

Post a Comment for "Revitalisasi Pendidikan Multikultural Di Sekolah Dalam Era Globalisasi"