Urgensi Manajemen Berbasis Madrasah
Di tengah era persaingan global dan pasar bebas, manusia dihadapkan pada perubahan-perubahan yang tidak menentu. Kondisi tersebut telah mengakibatkan hubungan yang tidak linear antara pendidikan dengan dunia kerja atau one to one relationship, karena apa yang terjadi dalam lapangan kerja sulit diikuti oleh pendidikan, sehingga terjadi kesenjangan.
Menyadari hal tersebut, pemerintah telah melakukan upaya penyempurnaan sistem pendidikan, baik melalui penataaan perangkat lunak maupun perangkat keras. Upaya tersebut antara lain dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 20 dan 25 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, yang secara langsung berpengaruh terhadap perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pendidikan. Jika sebelumnya manajemen pendidikan merupakan wewenang pusat dengan paradigma top-down atau sentralistik, maka dengan berlakunya undang-undang tersebut kewenangan berpindah pada pemerintah daerah dengan paradigma bottom-up atau desentralistik.
Dalam kaitan ini, pemerintah pada tingkat daerah harus dapat mempertimbangkan dengan bijaksana kondisi nyata sekolah/madrasah dan masyarakat, dan mendukung kebijakan nasional. Di samping itu, tujuan harus layak, dapat dicapai dengan kemampuan yang ada, serta memiliki gambaran yang ideal tentang kondisi pendidikan yang diharapkan di masa depan. Untuk kepentingan tersebut, diperlukan paradigma baru manajemen pendidikan.
Sejak beberapa waktu terakhir, kita dikenalkan dengan pendekatan baru dalam manajemen madrasah yang diacu sebagai manajemen berbasis madrasah (school based management). Di mancanegara, seperti Amerika Serikat, pendekatan ini sebenarnya telah berkembang cukup lama. Pada 1988 American Association of School Administrators, National Association of Elementary School Principals, and National Association of Secondary School Principals, menerbitkan dokumen berjudul school based management, a strategy for better learning. Munculnya gagasan ini dipicu oleh ketidakpuasan atau kegerahan para pengelola pendidikan pada level operasional atas keterbatasan kewenangan yang mereka miliki untuk dapat mengelola sekolah secara mandiri. Umumnya dipandang bahwa para Kepala Madrasah merasa tidak berdaya karena terperangkap dalam ketergantungan berlebihan terhadap konteks pendidikan. Akibatnya, peran utama mereka sebagai pemimpin pendidikan semakin dikerdilkan dengan rutinitas urusan birokrasi yang menumpulkan kreativitas berinovasi.
Baca Juga:
MBM merupakan paradigma baru pendidikan, yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah (pelibatan masyarakat dalam rangka kebijakan pendidikan nasional). Otonomi diberikan agar sekolah leluasa mengelola sumber daya dan sumber dana dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan, serta lebih tanggap dengan kebutuhan setempat. Pelibatan masyarakat dimaksutkan agar mereka lebih memahami, membantu, dan mengontrol pengelolaan pendidikan. Dalam hal ini, kebijakan nasional yang menjadi prioritas pemerintah harus pula dilakukan oleh sekolah. Pada sistem MBM, sekolah dituntut secara mandiri menggali, mengalokasikan, menentukan prioritas, mengendalikan, dan mempertanggung jawabkan pemberdayaan sumber-sumber, baik kepada masyarakat maupun pemerintah.
Sebagai bentuk operasional desentralisasi pendidikan dalam konteks otonomi daerah MBM diharapkan dapat membawa dampak terhadap peningkatan efisiensi dan efektifitas kinerja madrasah, dengan menyediakan layanan pendidikan yang komprehensif dan tanggap terhadap kebutuhan masyarakat. Dengan MBM, madrasah diharapkan juga dapat meningkatkan efisiensi, partisipasi dan mutu serta bertanggung jawab kepada masyarakat dan pemerintah.
Karakteristik MBM bisa diketahui antara lain dari bagaimana madrasah dapat mengoptimalkan kinerjanya, proses pembelajaran, pengelolaan sumber belajar, profesionalisme tenaga kependidikan, serta sistem administrasi secara keseluruhan. Empat faktor penting yang perlu diperhatikan dalam implementasi MBM, yakni kekuasaan, pengetahuan dan keterampilan, sistem informasi, serta sistem penghargaan.
Berdasarkan beberapa paparan tentang manajemen berbasis madrasah seperti diatas, dapat dimengerti bahwa mutiara dari semua kebijakan di bidang pendidikan akan tergambar disekolah, sebab madrasah merupakan jaringan terakhir dari rangkaian birokrasi pendidikan. Maka, hidup atau matinya suatu program akan ditentukan oleh sejauh mana madrasah mampu mengelola dan melaksanakan semua program kependidikan.
Oleh sebab itu, manajemen berbasis madrasah menjadi sangat strategis dilaksanakan dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan pendidikan. Dengan manajemen berbasis madrasah ini, kepala madrasah, guru dan peserta didik mendapatkan peluang untuk melakukan inovasi dan improvisasi di madrasah berkaitan dengan masalah kurikulum, pembelajaran, manajerial dan lain-lain. Jadi, otonomi pendidikan merupakan hal yang esensial bagi terciptanya kebebasan akademik. Dengan demikian, manajemen berbasis madrasah dikatakan sebagai bentuk oprasionalisasi desentralisasi atau otonomi pendidikan dalam hubungannya dengan otonomi daerah.
MBM bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, mutu dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi, antara lain diperoleh melalui keleluasaan mengelola sumberdaya partisipasi masyarakat dan penyederhanaan birokrasi. Peningkatan mutu dapat diperoleh melalui revitalisasi partisipasi orang tua terhadap madrasah, fleksibilitas pengelolaan madrasah dan pembelajaran, peningkatan profesionalisme guru dan kepala madrasah, serta berlakunya sistem hadiah dan hukuman. Peningkatan pemerataan antara lain dapat diperoleh melalui peningkatan partisipasi masyarakat yang memungkinkan pemerintah lebih berkonsentrasi pada kelompok tertentu.
MBM dipandang sebagai alternatif dari pola umum pengoperasian sekolah yang selama ini memusatkan wewenang di kantor pusat dan daerah. MBM adalah strategi untuk meningkatkan pendidikan dengan mendelegasikan kewenangan pengambilan keputusan penting dari pusat dan dearah ke tingkat sekolah. Dengan demikian, MBM pada dasarnya merupakan sistem manajemen di mana sekolah merupakan unit pengambilan keputusan penting tentang penyelenggaraan pendidikan secara mandiri. MBM memberikan kesempatan pengendalian lebih besar bagi kepala sekolah, guru, peserta didik, dan orang tua atas proses pendidikan di sekolah mereka.
Baca Juga:
Dengan demikian, MBM mendorong profesionalisme guru dan kepala madrasah sebagai pemimpin pendidikan pada garis depan. Melalui pengembangan kurikulum yang efektif dan fleksibel, rasa tanggap madrasah terhadap kebutuhan setempat akan meningkan dan menjamin layanan pendidikan yang sesuai dengan tuntutan peserta didik dan masyarakat. Prestasi peserta didik dapat dimaksimalkan melalui peningkatan partisipasi orang tua, karena mereka dapat secara langsung mengawasi kegiatan belajar anaknya.
Melaui MBM, madrasah dikembangkan menjadi lembaga pendidikan yang diberi kewenangan dan tanggung jawab secara luas untuk mandiri, maju dan berkembang berdasarkan kebijakan dasar pengelolaan pendidikan yang ditetapkan oleh pemerintah.
Implementasi MBM di Indonesia perlu didukung oleh perubahan mendasar dalam kebijakan pengelolaan madrasah yang menyangkut aspek-aspek seperti : iklim madrasah yang kondusif, otonomi madrasah, kewajiban madrasah, kepemimpinan madrasah yang demokratis dan profesional, revitalisasi partisipasi masyarakat dan orang tua.
Implementasi MBM tidak mungkin dilakukan sekaligus, tetapi perlu pentahapan sesuai dengan kondisi sosial masyarakat serta mempertimbangkan faktor geografis, demografis, budaya setempat dan potensi dasar madrasah. Sedikitnya ada empat tahapan implementasi MBS, yaitu: sosialisasi, piloting, pelaksanaan dan diseminasi.
Dalam implementasi MBM, madrasah memerlukan pedoman-pedoman pendukung untuk menjamin terlaksananya manajemen yang mengakomodasi kepentingan otonomi madrasah, kebijakan pemerintah dan partisipasi masyarakat. Dalam hal ini, diperlukan seperangkat peraturan dan pedoman-pedoman umum yang dapat dipakai sebagai pedoman perencanaan, monitoring dan evaluasi, serta laporan pelaksanaan. Perangkat implementasi ini perlu diperkenalkan sejak awal, melalui pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan sejak palaksanaan jangka pendek
Menyadari hal tersebut, pemerintah telah melakukan upaya penyempurnaan sistem pendidikan, baik melalui penataaan perangkat lunak maupun perangkat keras. Upaya tersebut antara lain dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 20 dan 25 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, yang secara langsung berpengaruh terhadap perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pendidikan. Jika sebelumnya manajemen pendidikan merupakan wewenang pusat dengan paradigma top-down atau sentralistik, maka dengan berlakunya undang-undang tersebut kewenangan berpindah pada pemerintah daerah dengan paradigma bottom-up atau desentralistik.
Dalam kaitan ini, pemerintah pada tingkat daerah harus dapat mempertimbangkan dengan bijaksana kondisi nyata sekolah/madrasah dan masyarakat, dan mendukung kebijakan nasional. Di samping itu, tujuan harus layak, dapat dicapai dengan kemampuan yang ada, serta memiliki gambaran yang ideal tentang kondisi pendidikan yang diharapkan di masa depan. Untuk kepentingan tersebut, diperlukan paradigma baru manajemen pendidikan.
src image http://trimediapos.com |
Ketentuan tersebut telah tertuang dalam undang-undang sisdiknas tahun 2003, pasal 52 ayat (1), bahwa “pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah.”
Sejak beberapa waktu terakhir, kita dikenalkan dengan pendekatan baru dalam manajemen madrasah yang diacu sebagai manajemen berbasis madrasah (school based management). Di mancanegara, seperti Amerika Serikat, pendekatan ini sebenarnya telah berkembang cukup lama. Pada 1988 American Association of School Administrators, National Association of Elementary School Principals, and National Association of Secondary School Principals, menerbitkan dokumen berjudul school based management, a strategy for better learning. Munculnya gagasan ini dipicu oleh ketidakpuasan atau kegerahan para pengelola pendidikan pada level operasional atas keterbatasan kewenangan yang mereka miliki untuk dapat mengelola sekolah secara mandiri. Umumnya dipandang bahwa para Kepala Madrasah merasa tidak berdaya karena terperangkap dalam ketergantungan berlebihan terhadap konteks pendidikan. Akibatnya, peran utama mereka sebagai pemimpin pendidikan semakin dikerdilkan dengan rutinitas urusan birokrasi yang menumpulkan kreativitas berinovasi.
Baca Juga:
MBM merupakan paradigma baru pendidikan, yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah (pelibatan masyarakat dalam rangka kebijakan pendidikan nasional). Otonomi diberikan agar sekolah leluasa mengelola sumber daya dan sumber dana dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan, serta lebih tanggap dengan kebutuhan setempat. Pelibatan masyarakat dimaksutkan agar mereka lebih memahami, membantu, dan mengontrol pengelolaan pendidikan. Dalam hal ini, kebijakan nasional yang menjadi prioritas pemerintah harus pula dilakukan oleh sekolah. Pada sistem MBM, sekolah dituntut secara mandiri menggali, mengalokasikan, menentukan prioritas, mengendalikan, dan mempertanggung jawabkan pemberdayaan sumber-sumber, baik kepada masyarakat maupun pemerintah.
Sebagai bentuk operasional desentralisasi pendidikan dalam konteks otonomi daerah MBM diharapkan dapat membawa dampak terhadap peningkatan efisiensi dan efektifitas kinerja madrasah, dengan menyediakan layanan pendidikan yang komprehensif dan tanggap terhadap kebutuhan masyarakat. Dengan MBM, madrasah diharapkan juga dapat meningkatkan efisiensi, partisipasi dan mutu serta bertanggung jawab kepada masyarakat dan pemerintah.
Karakteristik MBM bisa diketahui antara lain dari bagaimana madrasah dapat mengoptimalkan kinerjanya, proses pembelajaran, pengelolaan sumber belajar, profesionalisme tenaga kependidikan, serta sistem administrasi secara keseluruhan. Empat faktor penting yang perlu diperhatikan dalam implementasi MBM, yakni kekuasaan, pengetahuan dan keterampilan, sistem informasi, serta sistem penghargaan.
Berdasarkan beberapa paparan tentang manajemen berbasis madrasah seperti diatas, dapat dimengerti bahwa mutiara dari semua kebijakan di bidang pendidikan akan tergambar disekolah, sebab madrasah merupakan jaringan terakhir dari rangkaian birokrasi pendidikan. Maka, hidup atau matinya suatu program akan ditentukan oleh sejauh mana madrasah mampu mengelola dan melaksanakan semua program kependidikan.
Oleh sebab itu, manajemen berbasis madrasah menjadi sangat strategis dilaksanakan dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan pendidikan. Dengan manajemen berbasis madrasah ini, kepala madrasah, guru dan peserta didik mendapatkan peluang untuk melakukan inovasi dan improvisasi di madrasah berkaitan dengan masalah kurikulum, pembelajaran, manajerial dan lain-lain. Jadi, otonomi pendidikan merupakan hal yang esensial bagi terciptanya kebebasan akademik. Dengan demikian, manajemen berbasis madrasah dikatakan sebagai bentuk oprasionalisasi desentralisasi atau otonomi pendidikan dalam hubungannya dengan otonomi daerah.
MBM bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, mutu dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi, antara lain diperoleh melalui keleluasaan mengelola sumberdaya partisipasi masyarakat dan penyederhanaan birokrasi. Peningkatan mutu dapat diperoleh melalui revitalisasi partisipasi orang tua terhadap madrasah, fleksibilitas pengelolaan madrasah dan pembelajaran, peningkatan profesionalisme guru dan kepala madrasah, serta berlakunya sistem hadiah dan hukuman. Peningkatan pemerataan antara lain dapat diperoleh melalui peningkatan partisipasi masyarakat yang memungkinkan pemerintah lebih berkonsentrasi pada kelompok tertentu.
MBM dipandang sebagai alternatif dari pola umum pengoperasian sekolah yang selama ini memusatkan wewenang di kantor pusat dan daerah. MBM adalah strategi untuk meningkatkan pendidikan dengan mendelegasikan kewenangan pengambilan keputusan penting dari pusat dan dearah ke tingkat sekolah. Dengan demikian, MBM pada dasarnya merupakan sistem manajemen di mana sekolah merupakan unit pengambilan keputusan penting tentang penyelenggaraan pendidikan secara mandiri. MBM memberikan kesempatan pengendalian lebih besar bagi kepala sekolah, guru, peserta didik, dan orang tua atas proses pendidikan di sekolah mereka.
Baca Juga:
- Efektivitas Teknologi dalam Dunia Pendidikan
- Revitalisasi Pendidikan Multikultural Di Sekolah Dalam Era Globalisasi
Melaui MBM, madrasah dikembangkan menjadi lembaga pendidikan yang diberi kewenangan dan tanggung jawab secara luas untuk mandiri, maju dan berkembang berdasarkan kebijakan dasar pengelolaan pendidikan yang ditetapkan oleh pemerintah.
Implementasi MBM di Indonesia perlu didukung oleh perubahan mendasar dalam kebijakan pengelolaan madrasah yang menyangkut aspek-aspek seperti : iklim madrasah yang kondusif, otonomi madrasah, kewajiban madrasah, kepemimpinan madrasah yang demokratis dan profesional, revitalisasi partisipasi masyarakat dan orang tua.
Implementasi MBM tidak mungkin dilakukan sekaligus, tetapi perlu pentahapan sesuai dengan kondisi sosial masyarakat serta mempertimbangkan faktor geografis, demografis, budaya setempat dan potensi dasar madrasah. Sedikitnya ada empat tahapan implementasi MBS, yaitu: sosialisasi, piloting, pelaksanaan dan diseminasi.
Dalam implementasi MBM, madrasah memerlukan pedoman-pedoman pendukung untuk menjamin terlaksananya manajemen yang mengakomodasi kepentingan otonomi madrasah, kebijakan pemerintah dan partisipasi masyarakat. Dalam hal ini, diperlukan seperangkat peraturan dan pedoman-pedoman umum yang dapat dipakai sebagai pedoman perencanaan, monitoring dan evaluasi, serta laporan pelaksanaan. Perangkat implementasi ini perlu diperkenalkan sejak awal, melalui pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan sejak palaksanaan jangka pendek
Muhammad Nur Fadhli
Post a Comment for "Urgensi Manajemen Berbasis Madrasah"
Post a Comment